Alumni Ponpes Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri sekaligus kader PMII di Ponpes Nurul Jadid, Paiton Probolinggo. Bisa disapa lewat Instagram @s.faylasuf

Agama Samawi dan Ardhi: Kebebasan untuk Memeluk Keyakinan

Salman Akif Faylasuf

3 min read

Dalam Al-Qur’an dan hadis tidak ada penjelasan tentang adanya kategori agama samawi (langit) dan ardhi (bumi). Kalau kita melihat sejarah kemunculan agama-agama, hampir semua agama bermula dari permenungan yang bersifat individual, dari kontemplasi yang privat, baru kemudian menyebar menjadi milik komunal hingga publik secara umum. Pertanyaannya, bagaimana sebenarnya awal kemunculan kategori agama samawi dan ardhi?

Ketika Nabi Muhammad menjelang umur 40 tahun, kanjeng Nabi punya tradisi datang ke gua untuk  bermeditasi. Setelah beberapa waktu di tempat ini, Nabi Muhammad mendapatkan wahyu. Surah Al-Alaq adalah surah yang pertama kali turun. Wahyu ini kemudian diinformasikan kepada orang lain. Sang istri, Siti Khadijah, mengetahui tentang wahyu ini, demikian juga Abu Bakar. Semakin lama, pelan dan pasti semua orang mengetahui wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad hingga kemudian membentuk komunal Islam dan melebar ke seantero dunia.

Hal yang sama juga terjadi dalam agama Kristen. Agama Kristen pada mulanya muncul dari permenungan pribadi dari Nabi Isa. Begitu pula dengan agama Buddha yang lebih kepada permenungan pribadi dari Sidharta Gautama yang melahirkan agama Buddha. Dengan demikian, seluruh agama adalah hasil komunikasi manusia dengan Tuhan. Komunikasi manusia dengan langit. Dalam hal ini maka seluruh agama pada mulanya adalah agama langit. Namun, ketika hasil dari agama langit diterjemahkan dan diajarkan, maka seluruh agama langit menjadi agama bumi.

Dalam perkembangan berikutnya, ada perbedaan cara pandang terhadap agama samawi dan ardhi. Agama ardhi (bumi) lebih lekat sebagai agama Timur, yaitu agama-agama yang muncul di India. Sementara agama samawi berasal kawasan Timur Tengah. Agama samawi dikesankan sebagai agama yang paling benar, agama yang merujuk pada ketuhanan. Sementara agama ardhi dikesankan dan diciptakan oleh manusia. Padahal, di dalam agama ardhi juga ada hasil komunikasi antara manusia atau pendiri agama dengan Tuhannya. Secara tidak langsung, ini seperti menunjukkan bahwa ada diskriminasi terhadap agama-agama yang muncul bukan dari Timur Tengah.

Yang tidak kalah ironisnya, agama ardhi juga sering disematkan pada agama-agama yang tidak memiliki kitab suci. Kalau kita merujuk pada sejarah, agama Yahudi, Kristen, dan Islam tidak hanya memiliki tokoh suci yang disebut sebagai Nabi, tapi juga memiliki kitab suci. Berbanding terbalik dengan itu, agama-agama lokal yang tidak memiliki kitab suci, sekalipun mereka memiliki tokoh suci, pendiri agama, dan hari suci tidak disebut sebagai agama, melainkan disebut sebagai aliran kepercayaan semata. Penganut agama lokal ini sangat rentan untuk menjadi korban diskriminasi.

Cara pandang bias terhadap agama-agama yang memiliki kitab suci dengan yang tidak harus diubah dengan memberikan perhatian khusus kepada agama lokal yang ada di Indonesia. Kita tahu bahwa ada puluhan bahkan ratusan agama lokal yang berasal dari leluhur. Mereka berhak untuk tetap ada dan lestari. Agama-agama lokal juga memiliki hak yang sama untuk mendapatkan perhatian dari pemerintah, sehingga mereka bisa menjalankan ibadah ritual dengan sangat baik tanpa gangguan dan diskriminasi dari orang lain.

Orang yang Murtad

Faktanya, masyarakat modern sering melakukan kecenderungan baru dibandingkan dengan masyarakat tradisional, yaitu berpindah dari satu agama ke agama yang lain. Ada banyak orang dalam dunia modern yang selama hidupnya bisa tiga sampai empat kali berpindah agama, tak terkecuali berpindah dari agama Islam ke agama lain.

Yang menarik, di dalam Al-Qur’an, bagi orang yang menyebut dirinya keluar dari agama Islam, tidak ada sanksi hukum dunia baginya. Allah SWT berfirman Al-Baqarah 2: 217:

وَمَنْ يَّرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِيْـنِهٖ فَيَمُتْ وَهُوَ کَافِرٌ فَاُ ولٰٓئِكَ حَبِطَتْ اَعْمَالُهُمْ فِى الدُّنْيَا وَالْاٰ خِرَةِ ۚ وَاُولٰٓئِكَ اَصْحٰبُ النَّارِ ۚ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُوْنَ

Artinya: “Barang siapa murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itu sia-sia amalnya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (QS. Al-Baqarah 2: 217).

Jelas sudah, dia dinyatakan sebagai kafir, tapi tidak ada sanksi hukum dunia terhadap orang yang keluar dari Islam. Kedua, ada fenomena di mana seseorang tidak keluar dari Islam, tapi dikeluarkan dari Islam atas putusan pengadilan. Ini yang terjadi pada Nasr Hamid Abu Zaid, seorang pemikir besar Islam di Mesir. Bahkan, ada juga fenomena yang tidak hanya mengeluarkan satu individu dari Islam, tapi mengeluarkan satu komunitas dari Islam. Misalnya fatwa MUI menyatakan bahwa Ahmadiyah sesat dan menyesatkan. Pernyataan ini dengan sendirinya ingin menegaskan bahwa Ahmadiyah sudah di luar Islam, padahal orang Ahmadiyah mengaku dirinya berada pada agama Islam.

Baca juga:

Jika Al-Qur’an tidak memberikan hukum dunia terhadap orang yang pindah agama, lalu dari mana kita tahu bahwa ada hukum dunia terhadap orang yang pindah agama? Ada hadis yang sering kali dikutip:

وَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : مَنْ بَدَّلَ دِيْنَهُ فَاقْتُلُوْهُ

Artinya: “Rasulullah SAW bersabda, ‘Barangsiapa mengganti agamanya, maka bunuhlah dia’.” (HR. Bukhari).

Hadis ini ada dalam Sahih Bukhari, Musnah Ahmad bin Hambal, Al-Muwattha’, tak kurang ada tujuh kitab hadis yang menjelaskan tentang bolehnya membunuh orang yang pindah agama.

Namun demikian, salah seorang pemikir besar, Jaudat Said, dalam bukunya Laa Ikraha Fi Ad-dhin menyatakan bahwa hadis ini adalah hadis ahad yang tidak pernah diketahui oleh publik mengapa membolehkan  membunuh orang murtad. Hadis ini juga diragukan dan dianggap sangat tidak kredibel. Dengan demikian, hadis itu bukan hanya bermasalah dari sudut perawih hadisnya, tapi juga bermasalah secara sudut teksnya karena dianggap bertentangan dengan prinsip pokok dasar ajaran Islam yang memberikan kebebasan pada setiap orang, apakah dia ingin menjadi orang beriman atau tidak.

Kalau kita merujuk pada Al-Qur’an dan tidak merujuk pada hadis, maka tidak ada masalah terhadap orang yang pindah agama. Rupa-rupanya, persoalan pindah agama bisa kita lihat tidak melulu dari sisi teologis, pindah agama juga harus dilihat dari aspek sosial-politiknya. Kenapa demikian? Pemilihan seseorang terhadap suatu agama sering kali dipengaruhi oleh pertimbangan sosial-politik. Karena itu, pertimbangan untuk memilih atau tidak memilih agama sering kali tidak atas dasar keyakinan dan teologis, melainkan atas persoalan dorongan sosial dan politik.

Syahdan, ada banyak orang penuh kesadaran diri ingin pindah dari satu agama ke agama lain, tetapi karena mendapat tekanan sosial akhirnya mereka tidak jadi pindah agama. Apa yang terjadi? Jawabannya dia beragama dengan penuh kepura-puraan. Dengan demikian, sangat tidak mudah untuk memberikan suatu kesimpulan terhadap orang yang berpindah agama dengan motif yang berbeda-beda.

Salman Akif Faylasuf
Salman Akif Faylasuf Alumni Ponpes Salafiyah Syafi'iyah Sukorejo Situbondo. Sekarang Nyantri sekaligus kader PMII di Ponpes Nurul Jadid, Paiton Probolinggo. Bisa disapa lewat Instagram @s.faylasuf

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Dapatkan tulisan-tulisan menarik setiap saat dengan berlangganan melalalui email